Wednesday, October 22, 2014
Thursday, May 29, 2014
PERAYAAN HARI IBU DIBALIK JERUJI BESI
Oleh : Jeny Khaeni
dimuat Buletin Cahaya Dhamma Edisi XI 2014
Lapas adalah tempat pembinaan narapidana. Sebelum dikenal istilah lapas, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
dimuat Buletin Cahaya Dhamma Edisi XI 2014
Kata orang, berbuat baik kadang tidak
mudah, ada saja rintangan yang berupaya menggagalkan niat baikmu. Ternyata hal serupa
terjadi pada kunjungan kasih ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Tg.Gusta yang digagas oleh
PaprikaIdeas dengan didukung Vihara Dharma Aura, Wanita Buddhis Indonesia (WBI)
dan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) pada 21 Desember 2013 lalu ketika hendak
merayakan Hari Ibu di sana.
Rintangan itu berupa cemoohan orang-orang
sekeliling yang menghakimi. Menurut mereka buat apa berbuat baik untuk orang
yang melakukan tindak kriminal. Mereka pantas di sana karena jahat. Dan
segudang cercaan lainnya.
“Tidak semua yang berada disana karena
tindak kejahatan, ada juga yang dicelakai orang dan difitnah,”ungkap Tony
Wijaya dari MBI saat mendampingi penulis ke lapas.
Lapas adalah tempat pembinaan narapidana. Sebelum dikenal istilah lapas, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
Setelah melewati berbagai standar
prosedur pemeriksaan, rombongan kami yang terdiri dari 4 orang bergegas menuju cetiya melalui lapis-lapis
jeruji besi mirip labirin yang membingungkan. Ada luapan kebahagiaan saat
berada di dalam cetiya mungil yang terdapat rupang Avalokitesvara Bodhisattva.
Bisa melihat rupang Dewi Kuan Im di tempat seperti itu tentu sebuah berkah dan
jodoh baik untuk mengingatkan kembali ‘sisi terang’ yang dimiliki setiap orang,
seberapa ‘gelap’ pun hidup seseorang.
Kami menyambut
para napi di depan pintu cetiya. Mereka
terlihat bahagia ikut memberi salam budhis. Seketika bayangan kengerian
memudar. Acara di mulai dengan doa bersama, lalu diselipi sesi motivasi dengan
membagikan pembatas buku berupa resep
pilihan yang diberikan Benny Se Teo, chef terkenal dari Singapura.
Resep original 'Rendang Beef' dari Chef Benny Se Teo, Singapore |
Ketika penulis
menghubungi Benny dan mengutarakan maksudnya, tanpa disangka Benny merespon
positif lalu memberikan 1 resep originalnya. Penulis berharap saat napi wanita
ini kelak menghirup udara kebebasan dan kembali ke rumah, mereka akan memasak
‘makanan penuh syukur’ untuk keluarga sebagai awal kehidupan baru dan berupaya
membangun kehidupan lebih baik lagi dan tidak kembali menghuni lapas lagi.
Benny Se Teo adalah pendiri Eighteen Chefs,
restoran yang kini memiliki tiga cabang di Singapura dengan mempekerjakan
mantan narapidana dan anak muda dengan masa lalu bermasalah. Benny ingin
menantang anak muda untuk keluar dari ‘geng’, mengambil panci dan menjadi koki.
Ia sendiri adalah mantan narapidana. Benny berjuang dari kecanduan heroin pada
usia 14 tahun. Sejak itu ia keluar masuk pusat rehabilitasi dan di penjara selama
10 tahun karena masalah narkoba. Selepas keluar penjara, tak ada satupun
perusahaan yang memanggilnya untuk wawancara hingga sebuah kesempatan datang
padanya, ketika Jamie Oliver, celebrity chef terkenal Inggris memberikan
peluang bagi narapidana belajar masak padanya. Benny pun terbang ke Inggris
belajar langsung dari Jamie Oliver. Pulang ke Singapura, ada seorang investor
yang tertarik pada keahlian Benny akhirnya berdirilah Eighteen Chefs. Penulis
berharap sepenggal kisah hidup Benny Se Teo akan menginspirasi mereka menjadi
warga yang lebih baik ketika kembali di tengah masyarakat.
Acara
dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Shi Shang Zhi You Mama Hao sebagai
puncak perayaan hari ibu yang ditandai dengan pemotongan kue tart. Seketika
saja, 20-an napi yang mengikuti acara ini larut dalam tangis, tak terkecuali
penulis juga tak kuasa menahan air mata. Keharuan berlanjut ketika salah
seorang napi berusia lanjut yang kami panggil ‘ama’ (nenek) menyuapkan sepotong
kue ke mulut penulis bagai cucunya sendiri. Ini sangat menyentuh hati karena
kebanyakan mereka tidak pernah merayakan Hari Ibu sebelumnya.
Menikmati manisnya cake dibalik jeruji besi |
Disela acara
mereka menuliskan harapan mereka. Acara kemudian ditutup dengan makan siang
bersama dan pembagian goodie bag berupa kebutuhan sehari-hari dan paket hadiah buku
agar mereka bisa mengisi waktu luang berkualitas dengan bacaan bagus, dan
saling bertukar buku seusai membaca. Mereka menyambut antusias dan gembira
dengan hadiah buku tersebut.
Pilihan Buku Inspiratif untuk para penghuni lapas wanita Tg.Gusta Medan |
Goodie bag berisi kebutuhan harian |
Hidup dengan
predikat sebagai narapidana tentu dipenuhi ‘angka merah’ dan pandangan miring
di masyarakat. Asalkan mau berubah, siapapun bisa memberi kontribusi nyata bagi
masyarakat. Lewat perayaan hari ibu, kami ingin mengetuk kembali pintu kasih
mereka. Sempurna atau tidak, seorang ibu tetaplah ibu. Sebagaimana Dhamma itu
mencakup semuanya, bukan hanya yang baik-baik saja, namun juga yang buruk.
Setiap orang adalah makhluk awam, pasti pernah berbuat kesalahan. Setelah
menyadari kesalahannya, ia lalu memperbaiki diri dan menjadi orang yang lebih
baik, itulah yang paling penting.
Subscribe to:
Posts (Atom)